Senin, 02 Oktober 2017

Pengalamanku Bekerja Di LBH

 

Awalnya, Saya sekedar fokus untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah atau skripsi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu tema skripsi yang Saya pilih mengenai Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma di Tingkat Penyidikan. Judul ini Saya pilih, karena Saya tertarik dengan dunia pengacara, hanya itu, tidak ada alasan lain.

Tapi melalui penyusunan skripsi itu, Saya dipertemukan dengan buku-buku karya Franz Hendra Winata, Adnan Buyung Nasution, Abdul Hakim Garuda Nusantara dan buku-buku terkait lainnya. Dari hasil bacaan itulah Saya mulai mengetahui sedikit ide dan gerakan Bantuan Hukum Struktural yang digunakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH), khususnya yang berada dalam naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Sepanjang yang Saya pahami saat itu, Bantuan hukum di Indonesia pada mulanya hanya gerakan moralitas, wujud dari rasa iba terhadap mereka yang berhadapan dengan hukum dan kebetulan miskin. Lalu terjadi pergeseran pandangan dimana bantuan hukum tidak lagi hanya persoalan moral, lebih dari itu merupakan gerakan untuk mendorong adanya perubahan struktur yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Bantuan hukum struktural merupakan gerakan yang timbul dari cara pandang yang terakhir sekaligus kritik terhadap bentuk-bentuk bantuan hukum sebelumnya. Bagi LBH-YLBHI, kemiskinan dalam masyarakat terjadi akibat struktur dalam masyarakat atau negara yang tidak mencerminkan keadilan.

Pemahaman Saya tentang dunia pengacara, yang mulanya sempit, karena beranggapan pengacara hanyalah pekerjaan yang lingkupnya hanya dalam sistem peradilan, menjadi berubah.

Proses penyusunan skripsi juga mempertemukan Saya dengan LBH Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Irsyad Thamrin, lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Alih-alih hanya melakukan penelitian, Saya malah terlibat lebih jauh di LBH Yogyakarta. Saya mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), pendidikan yang dipraktekkan oleh YLBHI beserta LBH-LBH daerah untuk menjaring calon-calon Pengabdi Bantuan Hukum (PBH). Pertengahan Tahun 2007, Saya resmi menjadi PBH LBH Yogyakarta.

Sampai dengan Februari 2009, sebelum akhirnya Saya pindah ke LBH Semarang, Saya berkesimpulan, apa yang sebenarnya dilakukan oleh jaringan YLBHI dengan gerakan Bantuan Hukum Strukturalnya, sesungguhnya bukan sekedar gerakan hukum, tapi gerakan politik. Tentu saja bukan dalam artian politik praktis (membangun partai lalu merebut kekuasaan), tapi lebih luas dari itu.

YLBHI beserta jaringannya menganggap penting untuk memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang minim akses hukum, seperti masyarakat miskin dan marjinal. Tidak hanya itu, YLBHI juga mendorong masyarakat yang sudah melek hukum, agar berserikat dan membangun jaringan dengan kelompok masyarakat lainnya. Ini dilakukan agar masyarakat berdaya, dan tidak bergantung pada bantuan seorang pengacara dalam menghadapi persoalan hukum.

Hukum itu pun oleh YLBHI tidak diartikan sempit, dalam arti sekedar teks perundang-undangan, tapi dilihat dari aspek bagaimana hukum itu dapat memberikan keadilan bagi masyarakat, dengan prioritas masyarakat miskin dan marjinal. Selain itu, YLBHI juga menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia dalam berhukum. Keberpihakan dan perspektif itulah yang Saya kira menjadikan YLBHI dan jaringannya berbeda dengan LBH pada umumnya.

Sejak Februari 2009 sampai dengan Februari 2012, Saya bekerja di LBH Semarang. Saat di LBH Semarang inilah Saya lebih banyak bertemu komunitas-komunitas buruh, pedagang kaki lima, petani dan nelayan, dibandingkan saat masih di LBH Yogyakarta.

Ada hal-hal yang kemudian mempengaruhi pribadi Saya dari pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan komunitas-komunitas masyarakat itu. Cara pandang dan cara komunitas tertentu dalam menghadapi persoalan berbeda dengan komunitas lainnya. Pengetahuan yang dimiliki seorang Buruh yang hidup diperkotaan akan berbeda dengan seorang Petani di pedesaaan, begitu pula cara menghadapi persoalannya masing-masing. Barangkali benar apa yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa keadaan sosial mempengaruhi kesadaran seseorang. Dari pengalaman inilah Saya belajar untuk lebih bijak. Setiap oang/komunitas punya cara  berjuang untuk keselamatan hidupnya.

Dari keadaan itu, Saya mencoba untuk lebih banyak mendengar dan berguru kepada mereka yang buruh, yang petani, yang nelayan dan yang pedagang kaki lima, bagaimana mereka berjuang untuk hidupnya. Lalu dari proses itu, berlanjut dengan merumuskan bagaimana cara perjuangan yang sangat mungkin untuk dilakukan dan saling bekerja sama. Dari pengalaman itu, Saya belajar bagaiamana senantiasa berusaha rendah hati dan bersolidaritas.

Kini Saya tidak lagi menjadi bagian dari YLBHI, namun pelajaran soal keberpihakan, bersikap rendah hati dan bijaksana, serta makna solidaritas, tetap menjadi pegangan hidup Saya hingga saat ini dan nanti, semoga.

Catatan: Tulisan ini dibuat setelah peristiwa penyerangan Kantor YLBHI/LBH Jakarta pada Minggu malam, 17 September 2017, oleh massa yang menolak kegiatan yang diselenggarakan oleh YLBHI/LBH Jakarta. 

Asep Mufti
PBH LBH Yogyakarta 2007-2009
PBH LBH Semarang 2009-2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar