Rabu, 26 Juli 2017

Papua


Akhirnya harapanku menginjakkan kaki di bumi Papua tercapai, ini berkat tugas yang diberikan oleh Bawaslu kepadaku, yaitu mengantarkan soal dan memantau pelaksanaan tes tertulis Calon Anggota Panwas Kabupaten Kepulauan Yapen.

Papua dengan pesona alam dan kebudayaannya membuatku penasaran, meskipun terkadang miris atas beberapa kebijakan pemerintah pusat yang dipaksakan di Pulau paling timur Indonesia ini.

Aku menerima tugas bersama Edwien Setiawan, Staf di Bawaslu. Kami mendapatkan penerbangan Jakarta-Jayapura pada Rabu, 19 Juli 2017, Pukul 23.55 WIB atau 3 hari sebelum pelaksanaan tes tertulis tanggal 22 Juli 2017. Keberangkatan kami lebih dini lantaran terbatasnya akses pesawat terbang ke Papua, baik dari Jakarta ke Jayapura maupun dari Jayapura ke Kepulauan Yapen.

Maskapai Batik Air mengantarkan kami terbang ke Jayapura malam itu. Mestinya penerbangan akan langsung menuju Jayapura yang akan ditempuh dengan waktu sekitar 5 jam 30 menit, namun dalam perjalanan Co-Pilot memberitahukan jika pesawat akan mendarat di Ambon, Maluku, akibat ada penumpang yang terkena asma. Karena aku tertidur, Aku tidak tahu persis berapa lama pesawat berada di Ambon.

Ini pengalaman pertamaku ke Papua, sekaligus penerbangan pesawat terlama yang pernah kualami. Ketika pesawat akan sampai ke Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, aku terbangun dari tidur lalu menengok ke jendela pesawat. Mataku menyaksikan hamparan hutan dan pegunungan yang terkadang tertutup gumpalan awan. Lalu kulihat perairan yang dikelilingi pegunungan-pegunungan hijau, ada yang nampak lebat dengan pepohonan adapula yang nampak cuma diselimuti rerumputan seperti lapangan golf, itulah Danau Sentani. 

Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani sekitar jam 9 pagi waktu Indonesia bagian timur, 2 jam lebih awal dari waktu di Jakarta. Waktu tempuh penerbangan lebih lambat dari seharusnya.

Karena penerbangan pesawat dari Jayapura ke Kepulauan Yapen dijadwalkan pada keesokan harinya, Jumat, 21 Juli 2017, kami mencari penginapan yang terdekat dari Bandara. Aku lalu mengecek aplikasi Traveloka untuk mengetahui lokasi-lokasi hotel terdekat. Ternyata ada banyak. Paling dekat berjarak 200 meter saja. Sebetulnya bagi Edwin, Jayapura bukan pertama kalinya dia kunjungi, namun Ia tak begitu paham dengan lokasi-lokasi di sekitar. Kami berdua memutuskan berjalan kaki dan memilih Hotel Uniqe, hotel yang dekat dari bandara, untuk menjadi tempat bermalam.

Setelah beristirahat, sore harinya kami berniat menikmati suasana Danau Sentani. Petugas hotel memberi petunjuk bagaimana menuju tempat, dimana dari tempat itu kami bisa menyaksikan senja atau matahari tenggelam di pinggiran Danau. "Sentani Lake Sunset atau Kafe Yoka" kata petugas hotel mencoba menyebutkan tempat rujukan. "Bisa naik starwagon" lanjutnya memberi petunjuk. Starwagon yang dimaksud ternyata mobil colt diesel warna putih yang digunakan sebagai angkutan umum di Sentani.

Kami sebetulnya masih ragu dengan tempat yang jadi rujukan petugas hotel, lantaran petugas hotel juga nampak ragu ketika kami tanyakan. "Ah, yang penting jalan, nanti di dekat Danau kita turun" batinku. Setelah menunggu sebentar di tepi jalan, naiklah kami ke dalam angkutan umum starwagon.

"Bapak mau ke mana tadi?" tanya sopir yang orang Papua itu. "Sentani Lake Sunset atau Kafe Yoka" jawab kami dengan ragu. Lalu sopir menurunkan Kami di dekat sebuah wisma bernama Yoghwa, yang menyediakan restoran yang letaknya di pinggir danau. Barangkali Kafe Yoka yang kami sebutkan terdengar seperti Yoghwa oleh sopir. Bukan tempat yang kami tuju sebetulnya, tapi tak apalah, yang penting di pinggir danau. Kami memesan kopi hitam dan kopi susu. Langit jingga yang kami nanti tak kunjung datang, justru hujan deras yang menyapa. Begitu hujan mereda, kami kembali ke penginapan.

Malam harinya, kami mendapat kabar dari Bapak Philipus, Anggota Tim Seleksi Calon Anggota Panwas Kabupaten Yapen, kalau penerbangan pesawat Trigana Air dengan tujuan Kepulauan Yapen ditunda sehari. Seharusnya Jumat pagi menjadi sabtu pagi jam 7. Pemesanan tiket pesawat untuk kami memang dibantu oleh Bapak Philipus. Aku dan Edwin bingung, lantaran tes akan dilaksanakan pada hari Sabtu jam 10 siang. Jika kami berangkat Sabtu pagi, waktunya terlalu mepet. Karena menurut info, waktu tempuh penerbangan Jayapura ke Kepulauan Yapen sekitar 1 jam, lalu dari bandara menuju lokasi tes sekitar 1 jam dengan menggunakan mobil.

Aku lalu teringat dengan pesan Bapak Gunawan Suswantoro, Sekjen Bawaslu, yang berpesan saat pembekalan di Jakarta, sebelum distribusi soal dilaksanakan. Bagaimanapun caranya, soal harus sampai di tempat tujuan, katanya. Lalu Bapak Abhan, Ketua Bawaslu, memandu kami berucap sumpah agar menjaga kerahasiaan soal yang akan kami bawa. Malam itu kami memutuskan akan tetap pergi ke bandara pada pagi hari, barangkali pesawat bisa tetap berangkat.

Malam itu juga, Amandus, Tim Asistensi Bawaslu Papua menemui kami di kamar hotel. Ternyata dia pun hendak pergi ke Nabire di keesokan harinya menggunakan pesawat terbang. Dia bermalam di hotel dekat hotel tempat kami menginap. Setelah berbincang-bincang, Amandus berpamitan, dan kami beristirahat. Aku atur alarm di telepon genggam agar membangunkan kami jam 4 pagi.

Paginya kami terkejut, karena bukan alarm yang membangunkan, tapi Amandus yang tiba-tiba masuk ke kamar ketika waktu menunjukkan jam setengah 6. Dengan keadaan masih limbung, aku berkemas dan berangkat ke bandara.

Sesampai di Bandara, ternyata benar, penerbangan Trigana Air ke Kepulauan Yapen ditunda Sabtu pagi akibat cuaca buruk. Beruntunglah kami karena ada Amandus, dia memilki kenalan di bandara yang kemudian membantu kami memesankan tiket penerbangan ke Kabupaten Biak dengan maskapai Garuda Air. Tiket Trigana Air kami kembalikan dan uang pembayaran diganti penuh. Amandus berpamitan sementara kami masih menunggu kedatangan pesawat Garuda.

Kami pilih tujuan Kabupaten Biak, lantaran tidak ada lagi penerbangan pesawat yang langsung ke Kepulauan Yapen. Dari situ rencananya kami akan membeli tiket pesawat kembali untuk tujuan Kepulauan Yapen.

Sekitar jam 8, kami naik ke pesawat Garuda dan terbang menuju Kabupaten Biak. Sesampainya di Bandara Frans Kaisiepo, Biak, setelah menempuh waktu hampir 1 jam, kami langsung membeli tiket pesawat Trigana Air untuk tujuan Serui, Kepulauan Yapen. Tiket kami dapatkan tanpa tahu kapan waktu penerbangan. Kata petugas penjual tiket, lantaran cuaca buruk, pesawat Trigana yang akan kami tumpangi belum tiba di Bandara. Kami diminta untuk menunggu saja bersama penumpang lainnya.

Sambil menunggu, Aku mulai membuat catatan ini. Lebih 1 jam kami menunggu sampai akhirnya pihak Trigana Air memberi kabar penerbangan dibatalkan. Lagi-lagi alasan cuaca buruk. Memang sejak dari Jayapura, guyuran hujan tak kunjung henti. Terkadang reda sebentar lalu hujan lagi. Selain itu, sedang ada banyak pejabat provinsi melakukan penerbangan dari Jayapura ke Kepulauan Yapen, mengingat akan ada Pemungutan Suara Ulang Pilkada tanggal 26 Juli 2017.

Aku dan Edwin mengembalilan tiket dan menerima uang ganti, lalu bergegas menuju pelabuhan biak untuk mengejar kapal cepat yang sebentar lagi akan berangkat. Informasi tentang transportasi kapal cepat ini sudah kami ketahui sebelumnya dari Amandus, sebagai transportasi alternatif selain pesawat terbang.

Dari bandara, kami menumpaki mobil menuju pelabuhan Biak. Turut bergabung bersama kami, Yudi, asal Cirebon, yang bekerja pada perusahaan kontraktor pemasangan jaringan selular (tower atau BTS). Ternyata Yudi juga menjadi korban pembatalan penerbangan Trigana Air sejak dari Jayapura, dan dia juga menginap di hotel yang sama dengan kami di Sentani.

Hanya sebentar saja kami naik mobil. Sepanjang perjalanan, sopir mobil, Bapak Bram, membantu menghubungi pihak kapal cepat agar mau menunggu kami. Setiba kami di pelabuham Biak, di depan pintu masuk kapal Edwin langsung memesan tiket lalu kami langsung naik. Kapal cepat ini terdiri dari 4 kabin, 3 kabin bawah untuk kelas VIP dan 1 kabin atas untuk kelas ekonomi. Kami merupakan penumpang kabin atas. Kapal ini akan menuju ke Kabupaten Waropen dan Kepulauan Yapen.

Perjalanan menuju Pelabuhan Serui, Kepulauan Yapen diperkirakan akan ditempuh selama 6 jam, kami berangkat dari Pelabuhan Biak sekitar jam setengah satu siang. Di kapal cepat ini Aku melanjutkan membuat catatan ini setelah terhenti di Bandara Frans Kaisiepo, Biak.

Setelah menempuh waktu selama 5 jam, kapal bersandar di dermaga pelabuhan di Kabupaten Waropen. Sebagian penumpang turun digantikan penumpang baru. Waktu setempat menunjukkan jam setengah 6. Hari mulai gelap. Ombak semakin besar. Lalu kapal melanjutkan perjalanannya menuju Pelabuhan Serui, Kepulauan Yapen.

Di perjalanan, langit dan laut di luar sudah tak lagi terlihat, gelap. Kapal terombang-ambing oleh ombak. Seorang penumpang perempuan terlihat takut dengan kondisi itu, beberapa penumpang laki-laki menertawakannya, ia teriak-teriak lalu protes. Barangkali mereka ini saling berkawan, tapi buatku apa yang mereka lakukan itu bukan hal lucu, yang tak patut dijadikan canda-tawa.

Beruntung perjalanan tak lagi lama. Kapal bersandar di dermaga pelabuhan Serui setelah satu jam ditempuh. Kami disambut oleh Bapak Philipus, dan ia meminta kepada seorang pengemudi mobil untuk mengantarkan kami ke Hotel Maureen sebagai tempat istirahat dan bermalam.

Aku dan Edwin kelaparan. Sejak pagi, hanya mie rebus yang kami makan di Bandara Sentani. Bapak Philipus sangat pengertian, ternyata ia sudah memesan makan malam di hotel. Kami taruh tas dan perlengkapan lain di dalam kamar, lalu segera makan.

Keesokan harinya, Sabtu, 22 Juli 2017, jam 10, bertempat di SMAN 2 Serui, tes tertulis diselenggarakan, diikuti sebanyak 15 peserta, terdiri dari 13 peserta laki-laki, 2 peserta perempuan. Naskah soal yang kami bawa dari Jakarta, yang kerahasiaan dan keutuhannya kami jaga, tiba dengan selamat dan terpakai sebagaimana mestinya. Tes berlangsung lancar dan terkendali.

"Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu"


-Papua, Juli 2017-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar