Senin, 29 April 2013

Rumah Buku 'Di Balik Frekuensi' [Sesi I]


Minggu, 28 april 2013. Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Sekitar 50 orang buruh sedang berkumpul membahas persiapan aksi Mayday ketika Aku dan Afidah tiba di Kantor Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Aneka Industri Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPAI SPMI) Kota Semarang di Jalan Sidomulyo Raya No.19 Tlogosari Semarang. Sebagian besar orang berada di dalam, namun nampak juga yang mendengarkan pembahasan rapat dari luar. Di Kantor Serikat Pekerja inilah film ‘Di Balik Frekuensi’ karya Ucu Agustin akan kami putar.

‘Di Balik Frekuensi’ merupakan sebuah film dokumenter yang menggambarkan bagaimana media massa -khususnya televisi- befungsi sebagai alat atau corong bagi kepentingan pemiliknya. Itu digambarkan melalui 2 cerita : Pertama, tentang Luviana seorang wartawan Metro TV yang di PHK oleh perusahaan (Media Group) lantaran hendak memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh. Kedua, tentang Hari Suwandi dan Harto, dua warga korban lumpur lapindo yang melakukan aksi protes dengan berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta.

Usai rapat buruh, Aku dan Afidah dibantu dengan kawan-kawan buruh mempersiapkan perlengkapan pemutaran film di tengah-tengah kesibukan buruh lainnya yang berburu nasi bungkus untuk santap siang. Orang berlalu-lalang sambil berbincang-bincang satu sama lain di dalam Kantor yang tidak terlalu luas untuk menampung sebanyak 50 orang, sehingga suasana terasa begitu sesak, riuh dan panas.

“Wah, banyak sekali orangnya” pikirku sambil menyiapkan perlengkapan. Sebelumnya aku hanya memperkirakan peserta sebanyak 20 orang.

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk persiapan sampai akhirnya film siap untuk diputar.

Aku kemudian menampilkan foto-foto aksi buruh dalam peringatan Hari Kartini pada Minggu 21 April 2013 lalu di Jalan Pahlawan Semarang yang gambarnya diambil oleh Afidah dan Aku saat aksi itu dilakukan. Trailer film “Di Balik Frekuensi” juga kami putar. 

Muhron, Ketua PC SPAI SPMI Kota Semarang mempersilahkanku untuk memulai acara pemutaran film, kemudian aku menyambutnya dengan memberikan penjelasan mengenai kegiatan pemutaran film dan apa tujuannya kepada peserta.

“Setidaknya ada 2 tujuan dari pemutaran film ini : Pertama, untuk memberikan semangat kepada kawan-kawan dalam menyambut mayday. Kedua, agar kawan-kawan semakin kritis terhadap media massa” kataku saat itu.

Sebelum film diputar, Afidah (Pengelola Perpustakaan Rumah Buku) membacakan satu puisi karya Wiji Thukul yang berjudul “Edan”:

Sudah dengar cerita Mursilah?
edan!
Dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain
Dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena Dia taroh di tempat kerja
edan!
sudah diperas dituduh maling pula


Sudah dengar cerita Santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai uang
padahal pas waktu luang
edan!
Kita mah bukan sekrup

Film-pun diputar......

Asyik Menonton
Saat pemutaran film sedang berlangsung, sebagain buruh terpaksa harus meninggalkan ruangan karena harus memastikan persiapan mayday di pabrik masing-masing. Di satu sisi sangat disayangkan karena mereka tidak dapat menikmati film sampai selesai, namun di sisi lain sangat melegakan karena ruangan menjadi longgar dan hawa panas-pun berkurang.

Tak lama kemudian, 4 kawan mahasiswa Universitas Katholik Soegijapranata datang dan langsung mengisi ruang kosong yang sebelumnya ditinggalkan kawan-kawan buruh. Kemudian datang lagi 2 kawan, seorang mantan pimpinan salahsatu Serikat Pekerja dan yang seorang lagi buruh korban PHK di sebuah pabrik jepang di Semarang.

Film selesai diputar.....

Oleh karena tidak ada narasumber maupun moderator, Aku dan Afidah berusaha menggali apa pendapat kawan-kawan setelah menonton film tersebut.

“Filmnya bagus gak?” Tanyaku dan Afidah kepada penonton.

“Bagus” jawab sebagian penonton.

Kurniawan, Pengurus SPMI mengawali pendapatnya tentang film. Menurutnya, apa yang terjadi dengan Luviana dalam film itu, menggambarkan bahwa perjuangan buruh pasti akan sulit tanpa berorganisasi.
Aris -yang datang pada saat film tengah di putar dan yang kukatakan sebagai mantan pimpinan salahsatu Serikat Pekerja- menyatakan bahwa apa yang terjadi dengan Luviana merupakan satu dari sekian banyak persoalan buruh yang terjadi.

“Serikat Buruh saat ini kurang diperhitungkan secara politik” pendapat Aris mengenai situasi Serikat Buruh kekinian.

Muhron menyatakan bahwa film ‘Di Balik Frekuensi’ bisa menjadi bahan renungan bagi perjuangan kawan-kawan buruh.

“Di film ini setidaknya terdapat 2 isu, mengenai perburuhan dan media masa atau frekuensi” terang Afidah.

Ben, salahsatu mahasiswa yang datang memberikan pendapatnya tentang lumpur lapindo. Menurutnya berlarut-larutnya masalah lumpur lapindo dikarenakan kesalahan dari pemerintah.

Nuel, kawan Ben yang juga seorang mahasiswa turut berpendapat. Ia menyatakan terdapat persoalan-persoalan hukum dalam cerita yang ada di film. Saat ini hukum bermasalah karena memang hukum bukan untuk manusia, tapi justeru sebaliknya.

Diskusi setelah pemutaran film
Aku mencoba turut berpendapat. Film ini juga menjelaskan bahwa pada jaman dahulu atau jaman Sukarno media massa banyak dimiliki oleh partai-partai, PKI punya media sendiri, PNI punya, begitu juga dengan partai Islam, sehingga pertarungan berita yang terjadi sangat ideologis. Namun pada jaman Orde Baru media sangat di kontrol oleh negera sehingga media terkekang, sementara pada jaman reformasi atau saat ini, media-media dikuasai oleh pengusaha-pengusaha. Info menarik dari film ini bahwa dari sekian banyak media massa ternyata hanya dikuasi oleh segelintir orang. Maka dari itu, menjadi sebuah kritik sekaligus tantangan bagi Serikat Buruh untuk memiliki media massa sendiri sebagai alat propaganda perjuangannya.

Diskusi seterusnya mengalir dengan sendirinya, tanpa dibatasi waktu dan aturan. Sampai akhirnya tinggal segelintir orang yang bertahan, maka itu mejadi pertanda diskusi akan segera berakhir. Aku dan Afidah lebih dulu berpamitan meninggalkan beberapa pengurus SPMI dan 4 kawan mahasiswa.


Asep Mufti, Pengelola Perpustakaan Rumah Buku
-Semarang, 29 April 2013-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar