Rabu, 05 Mei 2021

Mama Adalah Kepala Keluarga

 

Aku (36 tahun) dan istriku, Afidah (34 tahun), memilki dua anak perempuan: Madiba Vandana Afias (7 tahun) dan Kayana Ontosoroh Afias (4 tahun). Kami berdomisili di Babelan, wilayah kecamatan perbatasan antara Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Aku berasal dari Serang, Banten, sementara Afidah dari Pati, Jawa Tengah. Aku dan Afidah lahir dari keluarga berpendidikan rendah, yang membicarakan seksualitas dengan anak merupakan hal tabu. Ini cerita tentang anak sulungku, Madiba Vandana Afias.

 
"Apa perbedaan perempuan dan laki-laki?" tanyaku pada anak sulungku, Madiba Vandana Afias, saat usianya masih sekitar 5 tahun. Pertanyaan itu sengaja kuajukan untuk mengawali diskusi mengenai perbedaan seks dan gender, kosakata yang tentu belum ia ketahui.

"Kalau perempuan itu rambutnya panjang, laki-laki rambutnya pendek. Laki-laki lebih kuat dari pada perempuan" jawabnya saat itu.

Aku dapat memaklumi jawabannya mengingat rambutku memang pendek dan sering mengangkat barang-barang berat, sementara Afidah berambut panjang. Pengetahuannya tentu dipengaruhi apa yang dia lihat di sekitarnya.

"Laki-laki ada yang rambutnya panjang lho. Perempuan juga ada yang lebih kuat daripada laki-laki" sanggahku atas jawabannya.

"Terus apa perbedaannya, Yah?" Ia balik bertanya padaku.

Berbekal pengetahuan yang kudapat dari beberapa buku dan referensi lain, salah satunya yang paling kuingat adalah buku "Analisis Gender dan Transformasi Sosial" karangan Mansour Fakih, terbitan Pustaka Pelajar, aku mulai menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki dari fisiknya.

"Perempuan itu punya 'momok', kalau laki-laki punya 'titit'", jawabku. Momok adalah bahasa yang kami  gunakan untuk menyebut vagina, sementara Titit untuk menyebut penis.

"Perempuan bisa melahirkan, laki-laki gak bisa" tambahku.

Inti dari pembicaraan berikutnya bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan hanya sebatas pada organ seksual atau organ reproduksi dan fungsinya, lebih dari itu perbedaan yang lain masih bisa dipertukarkan. Boneka Barbie bukan hanya mainan anak perempuan, sebaliknya mobil-mobilan juga bukan hanya mainanan anak laki-laki. Pink bukan warna perempuan, karena ada juga laki-laki yang suka dengan warna merah muda itu.

Singkat waktu, Madiba mulai belajar dengan gurunya di kelas satu di sekolah dasar berbasis agama. Saat kujemput dari sekolahnya, di atas motor dia mengadu lantaran berbeda pendapat dengan gurunya di dalam kelas.

"Ayah, tadi ada pertanyaan di sekolah tentang siapa kepala keluarga di rumah, Aku jawab Mama, tapi Bu Guru bilang salah, katanya kepala keluarga itu bapak atau ayah" begitu Ia mulai bercerita.

"Kenapa Diba menjawab Mama?" tanyaku.

"Karena Mama lebih sibuk di rumah" jawabnya.

"Oh, Diba betul" aku berusaha mendukung pendapatnya, "Bisa saja di dalam keluarga yang menjadi pemimpin adalah Ibu atau Mama. Tapi memang kebanyakan orang berpendapat kepala keluarga itu Ayah. Gak apa-apa kalau Diba punya pendapat yang berbeda, itu bagus"

Kami sebagai orangtua memang berusaha untuk belajar bersama anak, memosisikan mereka -meminjam istilah Charlotte Mason, pendidik asal inggris- sebagai pribadi yang unik, yang memiliki pendapat dan selera, bukan menganggapnya sebagai kertas atau gelas kosong yang sesuka hati orangtua menorehkan tinta atau menuangkan air ke dalamnya. Anak kami posisikan sebagai subyek dalam proses diskusi.

Pengetahuan seksualitas bagi anak, menurut kami sangat penting untuk diberikan sejak usia dini. Tujuannya agar mereka mengenal tubuh mereka sendiri, sebab mereka memiliki otoritas dan tanggungjawab atas tubuhnya. Oleh karenanya, pengetahuan seksualitas akan menjadi bekal mereka dalam membentengi diri dari gangguan orang lain atas tubuh mereka.

Pengetahuan seksualitas juga penting untuk membedakan antara seks dan gender, sebab kedua hal ini, di lingkungan tempat kami tinggal, kerap disamakan sehingga menimbulkan bias gender atau ketidakadilan gender. Kami sering mendengar ucapan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, seolah-olah menangis bukanlah bagian dari laki-laki. Padahal menangis adalah manusiawi, sangat penting bagi manusia, sebagai luapan emosi yang juga menyehatkan mata. Ini terjadi akibat masyarakat terlanjur berpandangan bahwa menangis adalah kecenderungan perempuan dan melekatkan sifat itu pada perempuan. Pelekatan sifat inilah yang disebut gender. Pandangan demikian menjadi tidak adil apabila itu digeneraliasasi, seakan-akan semua perempuan cengeng dan laki-laki sebaliknya, saat itulah terjadi bias gender.

Kami juga sering mendengar ucapan bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, sebab katanya, perempuan lebih menggunakan perasaan atau emosial dalam membuat keputusan. Lantas, apakah laki-laki selalu logis dalam membuat keputusan? Tidak ada jaminan! Pandangan itu juga sesungguhnya bias gender. Ironinya, pandangan-pandangan demikian saat ini masih menjadi arus utama yang kemudian menciptakan pandangan umum bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki, padahal sejatinya keduanya memilki kedudukan yang sama.

Jawaban Madiba atas pertanyaan mengenai perbedaan perempuan dan laki-laki serta perbedaan pendapat dirinya dengan gurunya sebagaimana cerita di atas, merupakan cerminan bahwa arus utama itu  masih mendominasi dalam lingkungan masyarakat tempat kami tinggal. Madiba sedang berhadapan dengan arus utama itu.

Kami yakin pandangan umum tidak selalu benar. Hanya saja tidak mudah untuk menjadi pribadi yang berbeda dengan arus utama. Sama halnya dengan Kartini yang begitu merdeka dalam alam pikirnya yang mendambakan emansipasi,  namun bertekuk lutut di hadapan sistem feodalisme yang patriarki. Tapi setidaknya Kartini memiliki pendapat, begitu juga dengan anakku, Madiba.

Sebagaimana umumnya anak-anak yang serba ingin tahu dengan banyak bertanya, begitu juga dengan Madiba. “Ayah, gimana caranya manusia ada di perut dan lahir di dunia?” tanya Diba suatu waktu menjelang tidur malam. Pertanyaan ini sudah kukira akan muncul dan kami sebagai orangtua mesti mempersiapkan diri menjawabnya secara jujur tanpa memandangnya sebagai tabu. Itu kenapa sebagai orangtua kami dituntut untuk selalu belajar. Pertanyaan Madiba di atas berkaitan dengan pengetahuan soal reproduksi. Beruntung di rumah kami memiliki buku “Bicara Seks Bersama Anak” karangan Alya Andika, terbitan Galangpress. Meski agak canggung menjawab pertanyaanya, tapi aku coba memberitahunya apa itu hubungan seksual, sperma, sel telur (ovum), dan rahim.

Sebagai penutup, mengutip ungkapan Naomi Aldort, pengarang buku “Raising Our Children, Raising Ourselves”, mendidik anak kita sesungguhnya mendidik diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar