Selasa, 30 September 2025

Terima Kasih, Madiba


Dear, Dad
The first man i fell in love with

You welcome me into the world, tugging me in your warm everyday. We watched the bird circling ahead of the sky as we laughed together and witnessed every moment of nature. You introduced me to a thing named 'art', the thing i've been admiring since then, until now. 

How weird, now that my heigh is the same as your neck. The little girl whose potrait you drew and become our clock frame is now sketching your face in her sketchbook. 

Keeping your young dreamer soul alive inside of it as you kept going older. Sometimes, i miss the past. I miss the time when i didn't know anything. But you lead me, in a new path that only our footprints traced on it.

I never thought i would love you so much, Dad. But I do, always do.

By: Your most calm, yet easy-angered oldest daugther.

***

Sabtu, 20 September 2025

Sembilan Belas Kota, Dua Belas Negara



Catatan ini adalah dokumentasi perjalananku ke sembilan belas kota di dua belas negara, sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2025, yang kukunjungi bersama keluargaku maupun rekan kerja. Dua belas negara itu adalah Arab Saudi, Australia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Amerika Serikat, Qatar, Belanda, Belgia, Thailand, Filipina, dan Inggris. 

Sejauh mana pun aku pergi, Indonesia dengan segala keterbatasannya selalu kurindukan. Seperti lagu Tanah Airku karya Saridjah Niung atau lebih dikenal Bu Sud "biarpun saya pergi jauh tidak 'kan hilang dalam kalbu, tanahku yang kucintai, engkau kuhargai".

Kamis, 18 September 2025

Rumah Kertas


Buku tipis yang terdiri dari 79 halaman terbitan Marjin Kiri, berjudul Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez yang kubawa dalam perjalanan kerja ke Jayapura, Papua. Buku yang bercerita tentang sosok Aku, sebagai tokoh utama, yang harus menggantikan posisi Blumma Lennon, Profesor pada jurusan sastra Amerika Latin di Universitas Cambridge, yang meninggal tertabrak mobil saat berjalan sambil membaca buku 'Poems' karya Emily Dickinson. 

Aku menemukan paket yang berasal dari Uruguay (tanpa identitas pengirim) dan dialamatkan kepada mendiang Blumma di ruang kerjanya. Paket tersebut berisi buku 'La linea de sombra' terjemahan spanyol dari 'The Shadow Line' karya Joseph Condrad. Buku lawas yang ternoda serpihan semen.

Aku kemudian mencari tahu siapa pengirimnya dan berniat mengembalikan buku tersebut, itu dia lakukan sembari pulang kampung ke Buenos Aires, Argentina. Dalam pencariannya, Aku bertemu dengan para penggila buku untuk sampai menuju pada sosok Carlos Brauer, sang pengirim buku.

Membaca buku ini seperti membuka kontak pandora yang berisi daftar pustaka sastra karya-karya penulis tersohor. Buku ini juga menceritakan tingkah-tingkah 'aneh' penggila buku. (Jayapura, 4 Desember 2024)

Selasa, 09 September 2025

Efek Rumah Kaca, Realitas Sosial Dalam Lagu


Suatu ketika di sekitar tahun 2009, aku membaca berita seputar musik. Dalam berita itu, Arian, vokalis grup musik metal Seringai, menyebut nama sebuah grup musik yang lagunya menurut Arian menarik untuk didengarkan. Grup itu bernama Efek Rumah Kaca (ERK). Seingatku, itulah pertama kalinya aku tahu ada grup yang personilnya terdiri dari Cholil (vokal, gitar), Adrian (Bass), dan Akbar (Drum) itu. 

Sekitar tahun 2010 saat ERK tampil di sebuah acara musik di Semarang aku menyaksikannya, karena kebetulan aku tinggal di Semarang. Adrian, sang bassist yang mengalami gangguan mata, saat itu masih bisa tampil berdiri meski untuk berjalan menuju panggungnya harus didampingi. Itu konser ERK satu-satunya yang pernah kutonton. Selebihnya aku hanya mengikuti karya-karyanya melalui berita dan media sosial.

Hingga saat ini, grup musik yang kugemari ini telah merilis empat album studio: Efek Rumah Kaca (2007), Kamar Gelap (2008), Sinestesia (2015), dan Rimpang (2023), serta satu mini album Jalam Enam Tiga (2020) yang direkam di Amerika Serikat.

Kamis, 04 September 2025

Perunggu, for Revenge, dan Koil


Beberapa hari lalu dalam perjalanan dari bandara menuju rumah, sambil menyetir mobil bosan mendengar radio, lalu kubuka spotify dengan earbuds terpasang di telinga. Kuputar lagu-lagu dari Perunggu dan for Revenge, dua grup musik yang namanya sering terdengar di skena musik indie, tapi lagu-lagunya tidak pernah kudengarkan, kecuali lagu yang hit seperti "33x" dan "Serana".

Secara acak kuputar lagu-lagu Perunggu. Mulai dari 33x, Pikiran Yang Matang, Pastikan Riuh Akhiri Malammu, Tapi, dan Kalibata 2019. Ah, aku tidak suka dengan karakter suara vokalnya, susah menikmati musiknya dan terasa menjemukan, tapi sebetulnya gaya penulisan dan tema-tema liriknya menarik.

Lalu kuganti dengan lagu-lagu for Revenge. Mulai dari Serana, Jentaka, Jakarta Hari Ini, Sadrah, dan Penyangkalan. Musik dan suara vokalnya bisa kunikmati, meski lirik-liriknya kebanyakan seputar cinta-cintaan yang melankolis dan kurang variatif. 

Karena merasa kurang terhibur, kuputar lagu Koil yang nampaknya agak religius, tapi belum pernah kudengar. Dimulai dengan percakapan tiga orang batak "bertobatlah engkau umat beragama" begitu kata terakhirnya. Kemudian lagu dimulai. "Beragama yang kau anut menjanjikan surga"

Ada penggalan lirik yang membuatku ketawa "kabar yang kuterima, tak ada wifi di alam baka, tak ada sosial media, hanya bidadari tujuh dua, yang entah gunanya apa" langsung terbayang sosok Otong, sang vokalis, yang serius tapi lucu. Maju terus musik Indonesia. (30 Agustus 2025)

Siapa Dia, Sejarah Film di Indonesia


Aktor Nicholas Saputra diidolakan banyak perempuan, termasuk istriku, Afidah. Ini bukan catatan lelaki kalem nan tampan itu, tapi film terbarunya "Siapa Dia" garapan sutradara Garin Nugroho, yang semalam kutonton di bioskop di Summarecon Mall Bekasi. Film musikal yang menarasikan sejarah perkembangan seni pertunjukan atau perfilman di Indonesia. Sejak era kolonial belanda sampai pasca reformasi. 

Kisah tentang Layar (Nicholas Saputra) seorang sutradara, yang mengalami kebuntuan ide pasca kesuksesan film sebelumnya. Lalu dia berkunjung ke rumah tantenya, Kenes (Sita Nursanti) dan menemukan koper peninggalan keluarga yang berisi dokumen perjalanan hidup buyut, kakek, dan ayahnya. Dari situlah muncul inspirasi membuat film. 

Film terdiri dari 5 babak, terdiri dari: (1) Prolog yang mengawali cerita tentang isi koper; (2) kisah buyut; (3) kisah kakek; (4) kisah ayah; dan (5) Epilog. Dari film ini aku jadi tahu, ada kelompok teater keliling bernama Komedi Stamboel di era penjajahan kolonial belanda. Tidak sekadar menghibur, kelompok ini memiliki peran politik karena menjadi alat pengalih perhatian pemerintah belanda dari pergerakan buruh kereta dan sarekat islam yang saat itu sedang berkembang. Di dalam film digambarkan Nurlela (Monita Tahalia) aktris dari Komedi Stamboel, kekasih tak sampainya kakek buyut Layar, dihukum mati dengan cara ditembak. 

Di era kolonial belanda juga muncul film Loetoeng Kasaroeng, yang konon merupakan film pertama di Indonesia. Di masa penjajahan jepang, ada upaya pengajaran pembuatan film tapi untuk kepentingan propaganda rezim fasis jepang. Ah, rasanya lebih nikmat menonton langsung daripada menceritakan film bagus ini. (31 Agustus 2025)

Invictus, Rekonsiliasi Melalui Olahraga


Tiga tahun setelah referendum yang hasilnya menghentikan rezim apartheid, Afrika Selatan menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia Rugby Tahun 1995. Suasana dendam terhadap supremasi kulit putih juga berdampak pada tim nasional rugby Afrika Selatan, Springboks, yang prestasinya sedang menurun dan mayoritas pemainnya berkulit putih.

Mayoritas rakyat kulit hitam membencinya dan ingin membubarkan tim tersebut, namun Nelson Mandela (Morgan Freeman), Presiden terpilih yang mengusung semangat rekonsiliasi justru memilih arus yang berseberangan. Ia justru mempertahankan Springboks. Bahkan urusan kenegaraan lain kerap dikesampingkan Mandela hanya untuk memberi perhatian kepada tim rugby itu. Bagi orang-orang terdekatnya, keputusan Mandela tak masuk akal.

Sekretarisnya, Brenda (Adjoa Andoh), berulang kali memberi peringatan "kau mempertaruhkan kedudukan politikmu, kau mempertaruhkan masa depanmu sebagai pemimpin kami" katanya. Mandela bergeming, teguh dengan pendiriannya.

Itu merupakan sepenggal cerita dari film "Invictus" garapan sutradara favoritku, Clint Eastwood. Film yang dirilis tahun 2009 itu juga menampilkan aktor Matt Damon dengan peran sebagai Pienaar, Kapten Springboks. Film yang sudah berkali-kali kutonton, terakhir Sabtu lalu (30/08/2025) saat di pesawat Garuda penerbangan Pangkalpinang-Jakarta.

Buatku film yang diadaptasi dari kisah nyata ini sangat emosional dan inspiratif. Berhasil menggambarkan betapa keras kepalanya sosok Mandela, serta kebesaran hatinya untuk memaafkan demi membangun pemerintahan yang demokratis tanpa membedakan ras. (1 September 2025)