Sabtu, 25 Oktober 2025

Kerudung Merah Kirmizi


Terkesan akan gaya penulisan Novel Pangeran Diponegoro, aku tertarik membaca karya lain Remy Sylado, nama pena dari Jubal Anak Perang Imannuel Panda Abdiel Tambayong. 

Saat melakukan peminjaman buku di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Perpustakaan Jakarta, ada tiga pilihan judul buku: Cau Bau Kan, Paris Van Java, dan Kerudung Merah Kirmizi. Aku pilih judul terakhir karena memiliki cerita dengan alur waktu di sekitar era reformasi. Buku dengan tebal 674 halaman terbitan Keputakaan Populer Gramedia.

Bercerita tentang ambisi Sampurno atau Oom Sam, pengusaha pun pensiunan ABRI, yang menginginkan tanah seluas 32 ha di wilayah Gelgel, Bali. Sebab di tanah itu tertanam harta rampasan serdadu Jepang. Tanah itu milik guru besar ekonomi yang terkenal, Luc Sondak dan anaknya, Laksmi.

Melalui Dela Hastuti, orang kepercayaan sekaligus keponakan dan pemuas hasrat seksualnya, Oom Sam mendekati Luc dan Laksmi. Dalam proses negosiasi itu Luc Sondak bertemu dan menjalin kasih dengan Myrna Andriono, penyanyi klub di sebuah hotel di Jakarta.

Laksmi menolak menjual tanahya. Jelas itu membuat marah Oom Sam, orang yang bertabiat menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan pesuruh dari kepolisian dan militer untuk melakukan kekerasan.

Gaya penulisan Remy Sylado yang lugas membuat novel itu begitu mengalir. Kemampuannya sebagai poliglot, orang yang menguasai banyak bahasa, tercermin juga dalam novel ini, mulai dari bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Betawi, Jawa, dan Sunda. Remy juga gemar menggunakan kosakata yang jarang diketahui publik seperti tenahak, leluri, arkian, atau terkail.

Melalui dialog karakter Myrna dan Luc, Remy seperti ingin menumpahkan pustaka lagu-lagu jazz-pop era lawas semacam Stardust (Hoagy Charmichael), Summertime (George Gershwin), atau Autumn Leaves (Nat King Cole). Sementara melalui dialog karakter Dela, Remy hendak mengenalkan kutipan syair-syair pujangga Arab. (Bekasi, 25 Oktober 2025)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar